aaaaa

Hukumnya Memalsukan KK untuk “Mengakali” Sistem Zonasi Sekolah

Bukan hal baru didalam dunia pendidikan mengenai Sistem Zona Sekolah berdasarkan domisili, tentu timbul pertanyaan mengenai sanksi hukumnya dan apakah ada sanksi bagi orangtua yang memalsukan alamat di Kartu Keluarga untuk mengakali sistem zonasi demi memasukkan anaknya ke sekolah favorit?

Jalur Zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)

Perlunya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan sistem zonasi. Jalur zonasi sendiri merupakan salah satu jalur PPDB yang dikenal dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan (“Permendikbud 44/2019”). Menurut Permendikbud 44/2019, PPDB adalah penerimaan peserta didik baru pada taman kanak-kanak dan sekolah. Sekolah mencakup sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan. Selain zonasi, pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui jalur afirmasi, perpindahan tugas orang tua/wali, dan/atau prestasi. Jalur zonasi paling sedikit 50% dari daya tampung sekolah. 

Jalur afirmasi paling sedikit 15% dari daya tampung sekolah. Sedangkan jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% dari daya tampung sekolah. Apabila masih terdapat sisa kuota, pemerintah daerah dapat membuka jalur prestasi. Jalur zonasi diperuntukkan bagi peserta didik yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan pemerintah daerah, termasuk kuota bagi anak penyandang disabilitas. Domisili calon peserta didik didasarkan pada alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat satu tahun sejak tanggal pendaftaran PPDB. Kartu keluarga dapat diganti dengan surat keterangan domisili dari rukun tetangga atau rukun warga yang dilegalisasi oleh lurah/kepala desa atau pejabat setempat lain yang berwenang menerangkan bahwa peserta didik yang bersangkutan telah berdomisili paling singkat satu tahun sejak diterbitkannya surat keterangan domisili. 

Sekolah memprioritaskan peserta didik yang memiliki kartu keluarga atau surat keterangan domisili dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama dengan sekolah asal. Calon peserta didik hanya dapat memilih satu jalur pendaftaran PPDB dalam satu wilayah zonasi. Selain melakukan pendaftaran PPDB melalui jalur zonasi sesuai dengan domisili dalam wilayah zonasi yang telah ditetapkan, calon peserta didik dapat melakukan pendaftaran PPDB melalui jalur afirmasi atau jalur prestasi di luar wilayah zonasi domisili peserta didik sepanjang memenuhi persyaratan.

Penetapan Wilayah Zonasi

Penetapan wilayah zonasi dilakukan pada setiap jenjang oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah. Penetapan tersebut wajib memperhatikan jumlah ketersediaan daya tampung satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk satuan pendidikan keagamaan, yang disesuaikan dengan ketersediaan jumlah anak usia sekolah pada setiap jenjang di daerah tersebut. Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memastikan semua wilayah administrasi masuk dalam penetapan wilayah zonasi sesuai dengan jenjang pendidikan. Dinas pendidikan pun wajib memastikan bahwa semua sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam proses PPDB telah menerima peserta didik dalam wilayah zonasi yang telah ditetapkan. Penetapan wilayah zonasi pada setiap jenjang wajib diumumkan paling lama satu bulan sebelum pengumuman secara terbuka pendaftaran PPDB. Dalam menetapkan wilayah zonasi pada setiap jenjang, pemerintah daerah melibatkan musyawarah atau kelompok kerja kepala sekolah. 

Pemalsuan Data Kartu Keluarga

Permendikbud 44/2019 telah mengingatkan secara tegas adanya sanksi hukum bagi mereka yang berusaha “mengakali” sistem zonasi dengan memalsukan alamat di kartu keluarga. Pasal 39 Permendikbud 44/2019 berbunyi:

Pemalsuan terhadap:

  • kartu keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
  • bukti sebagai peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18; dan
  • bukti atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
  • dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”), kartu keluarga merupakan salah satu jenis dokumen kependudukan selain blangko KTP-el, biodata penduduk, surat keterangan kependudukan, akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta kematian, akta pengakuan anak, dan akta pengesahan anak. Dokumen kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. 

Adapun yang dimaksud dengan kartu keluarga adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga. Patut diperhatikan bahwa penerbitan atau perubahan kartu keluarga, KTP, dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya diakibatkan oleh adanya peristiwa kependudukan yang meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Selain sebagai dokumen kependudukan, beberapa elemen di dalam kartu keluarga juga dikategorikan sebagai data kependudukan yang terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat pendudukan. Data perseorangan, di antaranya, meliputi nomor kartu keluarga, alamat sebelumnya, dan alamat sekarang. Pasal 94 UU 24/2013 kemudian menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)”.

Perspektif KUHP

Selain Pasal 94 UU 24/2013, pelaku manipulasi data kartu keluarga juga berpotensi dijerat dengan Pasal 263 maupun Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang masing-masing berbunyi:

Pasal 263 KUHP; “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 KUHP; “Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya ,sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;”

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195), yang diartikan dengan surat dalam Pasal 263 KUHP adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lainnya. Surat yang dipalsu harus merupakan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, menerbitkan perjanjian, menerbitkan pembebasan utang, dan surat yang digunakan sebagai suatu keterangan bagi suatu peristiwa. Perbuatan yang diancam hukuman di sini adalah membuat surat palsu atau memalsukan surat (hal. 195). Masih menurut buku yang sama (hal. 197), yang dinamakan akta autentik dalam Pasal 266 KUHP adalah surat-surat yang dibuat oleh pegawai umum menurut bentuk dan syarat yang ditetapkan undang-undang.

Soesilo mencontohkan bahwa yang dapat dihukum menurut pasal ini adalah orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijke Stand untuk dimasukkan ke dalam akta kelahiran. Tujuannya untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta tersebut seolah keterangan yang ada di dalamnya benar (hal. 197).

Demikianlah artikel kali ini semoga bermanfaat dan sampai jumpa artikel selanjutnya. 

Baca Juga:

Hak Narapidana Menyusui di Lapas

Hukum Menerima Paket Dari Pengirim Yang Tidak Jelas

Langkah Menghadapi Developer Nakal

Belum ada Komentar untuk "Hukumnya Memalsukan KK untuk “Mengakali” Sistem Zonasi Sekolah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel