Perjanjian Baku Dalam undang-Undang Perlindungan Konsumen
Secara umum menurut KUHPerdata pasal 1313 pejanjian adalah perbuatan yang mengikatkan dirinya antara satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, dan dirumuskan juga dengan bunyi pasal 1320 tentang syarat syah nya sebuat perjanjian, yang diantaranya adanya kesepakatan dan kesepakatan ini bersifat bebas.
Pada prinsipnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan yang bebas dan tidak berdasarkan keterpaksaan apalagi dalam tekanan.
Namun tidak dapat dipungkiri dalam prakteknya adakala kedudukan para pihak pada negoisasi dalam perumusan perjanjian tidak seimbang sehingga melahirkan perjanjian yang tidak menguntungkan bagi salah satu pihak yang membuat perjanjian.
Sehingga adapula dalam praktek dunia usaha pada posisi pihak yang lebih dominan dibanding pihak lain, posisi yang lebih dominan membuat suatu perjanjian baku/klausul baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat.
Disebutkan "baku" karena perjanjian atau klausul itu tidak dapat diganggu gugat atau tidak dapat dinegoisasikan/ ditawar-tawar lagi oleh pihak lain, sehingga cenderung dapat merugikan pihak yang tidak dominan tersebut.
Berdasarkan hal itu UU Perlindungan Konsumen memberikan rumusan klausula sebagai:
"setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen"
Dalam pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, dalam pasal ini mengatur 2 macam larangan bagi pelaku usaha dalam membuat perjanjian yang akan mencantumkan klausul baku di dalamnya.
jika pasal 18 ini tidak terpenuhi maka demi hukum, perjanjian batal demi hukum. dan dianggap tidak pernah ada.
Dapat disimpulkan bahwa UU Perlindungan Konsumen tidak melarang adanya klausul baku terhadap setiap kegiatan usahanya, asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum terutama pada pasal 18 UU Perlindungan Konsumen.
Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausul baku yang akan dibuat dalam perjanjian untuk dapat menyesuaikannya dengan UU Perlindungan Konsumen.
Demikian Semoga Bermanfaat.
Dalam pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, dalam pasal ini mengatur 2 macam larangan bagi pelaku usaha dalam membuat perjanjian yang akan mencantumkan klausul baku di dalamnya.
- Pelarangan dalam mencantumkan klausul baku yang diatur dalam 8 point (lihat Pasal 18 Ayat (1)) larangan ini dimaksud untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
- Pengaturan format dan bentuk klausul baku yang dilarang, seperti meletakkan atau bentuknya sulit terlihat dan terbaca secara jelas atau pengungkapannya yang sulit untuk dimengerti.
jika pasal 18 ini tidak terpenuhi maka demi hukum, perjanjian batal demi hukum. dan dianggap tidak pernah ada.
Dapat disimpulkan bahwa UU Perlindungan Konsumen tidak melarang adanya klausul baku terhadap setiap kegiatan usahanya, asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum terutama pada pasal 18 UU Perlindungan Konsumen.
Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausul baku yang akan dibuat dalam perjanjian untuk dapat menyesuaikannya dengan UU Perlindungan Konsumen.
Demikian Semoga Bermanfaat.
Belum ada Komentar untuk "Perjanjian Baku Dalam undang-Undang Perlindungan Konsumen"
Posting Komentar